Isuk Dele Sore Tempe: Kesangsian Aktivis PMII dalam Pusaran Kepentingan Kuasa

 

Isuk Dele Sore Tempe: Kesangsian Aktivis PMII dalam Pusaran Kepentingan Kuasa

oleh Fitrah Izul Falaq*

 

Idealisme adalah Kemewahan Terakhir yang Dimiliki Pemuda.
– Tan Malaka

 

Hirarki kebutuhan Abraham Mashlow begitu menginspirasi saya. Tahun 1943 melalui makalahnya dengan judul “Teori Motivasi Manusia”, menyatakan bahwa kebutuhan mendasar setiap induvidu dimulai dari kebutuhan fisik, selanjutnya rasa aman, cinta kasih sayang, pengakuan dan barulah aktualisasi diri. Jika sahabat pernah mendengar “cara paling mudah untuk mengusai manusia adalah membuatnya lapar”, mungkin itulah yang dinamakan sideeffect dari kenyataan teori Mashlow tersebut. Ketidakmampuan induvidu untuk memenuhi kebutuhan fisik akan menghilangkan kebutuhan diatasnya. Bisa dipastikan, seorang pencuri takkan memperdulikan rasa aman ketika dia kelaparan. Masyarakat takkan bersuara selama ia dibuat ketakutan. Begitulah hukum teori ini berlaku di kehidupan kita. Dan bagi kalangan aktivis, wa bil khusus kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), disinilah entry poin yang sering kali bias untuk diperjuangkan.

PMII sebagai organisasi kepemudaan yang erat kaitannya dengan kepentingan kekuasaan memiliki dasar perjuangan, nilai-nilai, norma-norma serta cita-cita yang diperjuangkan. Satu diantaranya Trilogi PMII: Tri Motto, Tri Khidmat dan Tri Komitmen. Seorang kader PMII harusnya memiliki motto untuk senantiasa berdzikir, berpikir dan beramal sholeh. Diimplementasikan dalam bentuk khidmat mencapai taqwa, intelektual dan professional. Tentunya, seorang kader PMII wajib menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran dan keadilan sebagai bentuk komitmen pada organisasi. Begitulah narasi yang disampaikan sejak melalui proses kaderisasi formal sebagai khidmat menjawab tantangan zaman.

Sebagai sebuah nilai yang terus diperjuangkan, penerapan trilogi PMII dalam kehidupan sehari-hari memang tak mudah. Namun setidaknya, tetap ada usaha untuk menjaga kemurnian proses keberlangsungan organisasi. Artinya, sebagai seorang kader PMII yang berusaha menginternalisasi nilai-nilai ke-PMII-an tidak etis jika mudah digoyahkan oleh tawaran-tawaran ataupun kondisi yang menghendaki untuk mengkhinati nilai-nilai organisasi. Idealisme sebagai kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda harus benar dijaga dengan harga diri sebagai taruhannya. Miris jika kader PMII terjebak dalam idiom isuk dele sore tempe, sindiran terhadap sikap inkonsistensi, plin-plan atau mencla-mencle. Konsistensi menjaga nilai dibuktikan dengan tindakan.

Pusaran kepentingan kuasa menjadi godaan terbesar dalam proses dinamika organisasi PMII. Faktanya, tidak sedikit penyelewengan produk hukum yang dilanggar oleh beberapa tingkatan struktur demi langgengnya kepentingan kuasa. Praktik pertama dilakukan oleh Pengurus Kordinator Cabang (PKC) PMII Jawa Timur yang melebihi masa aktif kepengurusan, Dalam AD/ART, disepakati bahwa kepengurusan PKC harusnya berlansung selama 2 tahun. Uniknya, hal tersebut tidak menjadi masalah serius. Entah legalitas apa yang digunakan. Banyak sudut pandang, pun juga kepentingan. Beberapa kader masih mengganggap maklum. Namun, begitu memalukan ketika PKC PMII Jawa Timur, sebagai kordinator puluhan cabang, ratusan komisariat dan rayon kehilangan official website akibat peretasan. Sebuah paradoks atas keinginan PMII yang mendunia namun tidak bisa mengatasi masalah sepele demikian.

Tak hanya di Jawa Timur, kasus serupa juga terjadi di PMII Kota Malang. Menjelang Konferensi Koordinator Cabang (Konkoorcab) XXIV PKC PMII, banyak sejarah terukir. Pertama, PMII Kota Malang mengeluarkan dua rekomendasi calon dan tidak ada satupun yang lolos menjadi calon. Kedua, adanya surat rekomendasi dari beberapa komisariat berisi dukungan majunya ketua umum aktif sebagai calon, meskipun akhirnya beberapa dicabut dan abstain. Ketiga, terbitnya SK Kepengurusan yang tidak sesuai dengan AD/ART, seharusnya terhitung sejak terpilih menjadi saat pertama kali dilantik. Semua itu fakta, namun persepsi tetap kembali pada sudut pandang. Hanya saja, jangan sampai menjadi masalah sepele, apalagi disepelekan. Terlepas dari segala kepentingan, bukankah tidak etis jika kita harus sering inkonsisten terhadap baiat yang telah diikrarkan?

“… senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam Ahlussunnah wal jama’ah, Nilai Dasar Pergerakan, Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Nilai-nilai, Norma-norma, dan produk hukum PMII lainnya, serta cinta tanah air dan bangsa…”

Dengan memohon ridho dan maghfirah Allah, semoga kita tetap bisa menjaga idealisme sebagai kader PMII. Bai’at yang telah diikrarkan sejak sah menjadi anggota, kader, pengurus ataupun nanti lepas dari status mahasiswa mampu kita jaga. Inti kaderisasi adalah regenerasi. Sekaras apapun badai menerjang, pastikan hatimu tetap tegar, jangan sampai terombang-ambing oleh zaman dan kepentingan. Jaga ketulusan untuk berorganisasi dan tegas atas pilihan yang telah diambil.

Produk hukum adalah kesepakatan. Namun, melanggar produk hukum bagi saya bukanlah hal yang dibenarkan. Apalagi jika dilakukan mendekati momentum peralihan kekuasaan. Praktik ketidaksesuan SK dengan AD/ART jangan sampai ditindaklanjuti dengan kemoloran masa bakti kepengerusan. Jack Bologne, seorang ahli pernah mengatakan korupsi tidak terjadi hanya karena faktor kebutuhan (need) dan kesempatan (opportunity), tetapi juga faktor keserakahan (greed). Meskipun kebutuhan fisiologis kita sulit terpenuhi, rasa aman terancam bahkan tidak ada pengakuan, berdiri diatas idealise sembari memegang nilai-nilai PMII menjadi hal yang keren.

Mari kita rawat bersama citra diri PMII sebagai organisasi yang mendidik kader ulul albab. Saya ingin mengajak kepada seluruh kader PMII, bagaimanapun kondisinya, mari perjuangkan nilai-nilai. Jangan mudah dibeli karena kebutusan fisiologis tidak terpenuhi.

 

*Penulis adalah Kader PMII, dibaiat sejak tahun 2016.

Posting Komentar

0 Komentar