Mewujudkan Digitalisasi Organisasi Menuju 62 tahun PMII

Pandemi Covid-19 membawa perubahan dalam segala aspek kehidupan: kesehatan, pendidikan, ekonomi, bahkan sosial masyarakat. Peralihan tersebut secara akademik telah dibuktikan dari ribuan riset proses transisi digital. Dari sekian banyak fenomena, satu hal pasti, kita dihadapkan 2 pilihan: “Otomasi teknologi menggantikan manusia atau kehidupan manusia yang bersanding dengan teknologi”.

Implikasi transisi digital telah diprediksi dan diantisipasi melalui gagasan Society 5.0, ide tatanan sosial masyarakat yang diinisiasi oleh Jepang sebagai antitesis terhadap Revolusi industri 4.0. Berbeda dengan konsep Revolusi Industri 4.0 yang menghendaki otomasi dan mengurasi peran manusia, 5.0 Society lebih menekankan pada elaborasi manusia dengan mesin demi terciptanya super smart society.

Menjawab tantangan tersebut, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai organisasi kepemudaan tentunya harus senantiasa berperan aktif mengawal proses transisi era smart people society. Menyelenggarakan berbagai forum diskusi menjadi langkah paling sederhana. Namun, sebagai organisasi kritis dan transformatif, gerakan dan gagasan tidak boleh terhenti pada aspek retorik belaka. Implementasi kebijakan dan penciptaan inovasi mengusung transformasi organisasi harus direalisasikan.

Konsepsi dan Implementasi Digitalisasi Organisasi PMII

Gagasan transformasi organisasi menjadi slogan kemenangan ketua umum PB PMII, Sahabat Muhammad Abdullah Sukri. Langkah yang diambil cukup baik, menciptakan infrastuktur digital berupa aplikasi E-PMII. Sebuah platform pendataan keanggotaan kader yang terintegrasi secara nasional guna mendukung sistem manajemen kaderisasi dan sistem administrasi berbasis digital.

Sayangnya, kebijakan implementasi inovasi menggunakan mekanisme kebijakan dari atas kebawah (top to down) yang sering kali terhambat. Hemat penulis, upaya deseminasi inovasi dalam tubuh PMII bukan terletak pada pengembangan platform kemudian dijalankan melalui kebijakan. Sebelum hal tersebut, diperlukan internalisasi gagasan menjadi sebuah konsepsi yang utuh hingga menjadi kebutuhan yang melibatkan seluruh tingkat kepengurusan. Artinya, digitalisasi bukan sekedar program pelatihan bagi anggota dan kader, melainkan implementasi kajian kritis urgensi digitalisasi. Dengan demikian, akan terbangun gerakan kolektif kolegial yang apik dalam mengawal gagasan transformasi organisasi.

Digitalisasi Organisasi bukan Digitalisasi Kaderisasi

Misskonsepsi pemaknaan digitalisasi proses kaderisasi perlu diluruskan. Hemat penulis sepakat bahwa proses kaderisasi tidak akan pernah bisa didigitalkan secara penuh. Hal ini erat kaitannya dengan proses ideologisasi nilai-nilai PMII melalui pengkaderan formal, informal, maupun non formal.

Namun, penulis tidak sepakat proses pelatihan daring PMII dikatakan tidak efektif. Sejauh riset skripsi penulis terkait penyediaan sumber belajar dalam proses pelatihan secara daring, mampu memberikan ukuran pasti untuk mengukur aspek kognitif. Terkait aspek psikomotorik dan afektif memang lebih baik jika menggunakan pelatihan secara luring.

Bisa jadi seorang pengurus memiliki pemahaman lebih terkait PMII, namun belum tentu memiliki loyalitas dan integritas organisasi, begitupula sebaliknya.

Berkaca dari teori deseminasi inovasi, jauh sebelum membangun platform digital, landasan urgensi kebijakan perlu dirampungkan terlebih dahulu. Sehingga, implementasi gagasan tidak hanya sekedar membangun platform belaka, melainkan terdapat alasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, alangkah lebih baik jika digitalisasi organisasi dimulai dari perampungan landasan gagasan digitalisasi, khususnya paradigma baru kritis-transformatif-produktif yang dikampanyekan Ketua PB PMII.

Menuju 62 Tahun PMII, Pelopor Digitalisasi Organisasi

Momentum 62 tahun PMII ini setidaknya menjadi kerangka refleksi, urgensi, dan implementasi digitalisasi dalam tubuh organisasi. Pasca pandemi, pola kaderisasi dan gerakan kita harus mengakomodir karakteristik kader. Membangun kesadaran dan keterlibatan akar rumput guna membangun spirit transformasi digital menjadi tanggung jawab seluruh elemen menghadapi perubahan zaman. Penguatan branding organisasi sebagai organisasi pemuda yang kekinian tanpa mengurangi esensi seorang aktivis menjadi satu poin utama dalam digitalisasi organisasi.

Memperingati harlah, sudah seyogyanya PB PMII merilis perkembangan paradigma baru yang dikampanyekan, sehingga landasan digitalisasi organisasi jauh lebih beralasan.

 

oleh Fitrah Izul Falaq. Mahasiswa Magister Teknologi Pembelajaran Universitas Negeri Malang. Menjabat sebagai Wakil Ketua bidang Internal PC PMII Kota Malang.

Posting Komentar

0 Komentar